Memerdekakan Koperasi
Pedesaan
oleh:
Adhitya Wardhono
Masyarakat petani di Kabupaten
Jember mulai resah atas beredarnya beras impor asal India yang berjumlah
ratusan ton dengan harga jual di bawah harga lokal, yakni Rp1.900 per kilogram,
akibatnya banyak stok gabah dan beras lokal yang sulit laku dipasarkan.
Produk lokal harus bersaing dengan beras India, minimal itu pemberitaan
media Kompas (8/7/02). Melihat realitas ini seakan menambah agenda derita
petani Indonesia. Betapa rapuhnya petani kita karena mereka tidak mempunyai
bargaining power cukup kuat. Masyarakat petani yang notabene merupakan
komunitas sosial yang selama ini dianggap tidak melek logika ekonomi atau
hiruk pikuknya wacana politik seakan-akan menjadi bulan-bulanan perjalanan
reformasi ekonomi nasional. Khususnya dalam reformasi pertanian, permasalahan
petani tidak beranjak dari persoalan lawas, paling tidak masih seputar
tariff, kuota impor, dan masalah pemasaran.
Meskipun tidak dapat dipungkiri
sejak krisis ekonomi melanda Indonesia sektor pertanian telah menjadi gugus
pembangunan utama, namun masih banyak hal yang tidak dapat tertanggulangi.
Kasus impor beras di Kabupaten Jember diatas adalah salah satu contoh kasus.
Begitu halnya kasus gula impor dalam jumlah tak terkendali akibat maraknya
penyelundupan. Hal ini mengisyarakatkan banyak kebijakan pemerintah mampu
diterobos dengan praktek-praktek curang dilapangan. Contoh impor yang berlebihan
diluar ketentuan bisa jadi merupakan proses utak-atik praktik manipulasi
dokumen (under-invoice) atau importir fiktif yang dengan mudah beroperasi.
Jika kondisi ini tidak ditanggapi oleh pihak yang terkait bisa jadi sektor
pertanian terperangkap dalam kondisi nestapa berkelanjutan. Variabel kuantum
maupun harga yang dipermainkan di sektor pertanian ini ternyata membuat
resah banyak petani kita.
Terlebih menjelang era perdagangan
bebas seakan-akan semua dibawa kearah global. Padahal dalam hal tertentu
barang-barang lokal harusnya tetap menjadi perhatian, terutama produk pertanian.
Ingat bagaimana pemerintah Jepang dengan mati-matian mempertahankan usaha
petani padinya dengan mengenakan tariff impor lebih dari 200% terhadap
impor berasnya. Ini dapat diartikan bahwa beras sebagai komoditas lokal
harus dilindungi melalui proteksi yang sungguh-sungguh oleh pemerintah.
Berangkat dari hal diatas
mungkin pertanyaannya ‘sampai dimanakan peran organisasi masyarakat pedesaan,
seperti KUD dan asosiasi petani terlibat didalamnya?’ Adakah langkah alternatif
apa untuk menanggulangginya? Penulis tertarik untuk mengurai logika-logika
kejadian diatas dalam ranah pemikiran ekonomi kelembagaan pedesaan khususnya
Koperasi Pedesaan (KUD), sekalian artikel ini bermaksud untuk menyambut
Hari Jadi Koperasi di Indonesia tanggal 12 Juli 2002 kali ini.
Koperasi Pedesaan (KUD)
sebagai penyelemat petani?
Lemahnya bargaining power
petani, jika kita cermati menunjukkan kegagalan kebijakan pemerintah disektor
pertanian. Merujuk pada kasus kehancuran harga dan produksi di sektor pertanian
maka semakin jelas bahwa sangat lemahnya kebijakan pemerintah pro-petani
dan juga sekaligus mengisyaratkan belum optimalnya kinerja kelembagaan
yang ada di tingkat pedesaan. Ambil saja kasus kinerja Koperasi Pedesaan
(KUD), masih sering terdengar julukan KUD sebagai ‘koperasi berkacamata
kuda’ karena hanya jalan satu arah karena harus tunduk pada perintah sang
sais, yang karena dibina secara intensif oleh pemerintah malah melahirkan
Departemen Koperasi padahal sebelumnya hanya dibawah Direktorat Jenderal
dimasa era Orba itu.
Namun ternyata sejak
era Orba hingga era Reformasi saat inipun perkembangan KUD tidak
juga cukup mengembirakan sebagai organisasi kolektif penting di tingkat
pedesaan. Bahkan jika kita memaparkan dosa dari KUD adalah disamping perannya
memonopoli di pedesaan adalah ketidakmampuan untuk mengangkat nilai
tukar petani. Intinya KUD masih belum menjadi penyelemat petani.
Meski demikian sinyalemen
yang muncul di pedesaan adalah banyak sekali dijumpai ‘institusi baru pedesaan’
baik bernama asosiasi ataupun paguyupan. Baik asosiasi tersebut berdiri
sendiri atau bahkan asosiasi Koperasi. Timbulnya asosiasi di pedesaan ini
menjamur selama krisis ekonomi. Ini sebenarnya menunjukkan bahwa mereka
menyadari (kalau tidak mau dikatakan kurang setuju dengan koperasi pedesaan-KUD)
bahwa organisasi kolektivitas pedesaan perlu. Tersumbatnya peran koperasi
pedesaan-KUD selama ini mengharuskan mereka mencari institusi alternatif
lain. Dalam hal ini penulis jadi teringgat kritik yang disampaikan Prof.
Hans H.Muenkner (pakar Koperasi dari Univ. Marburg) dalam suatu kuliah
Studi Pengembangan Koperasi (Genossenschaflehre) yang menyatakan bahwa
selama ini banyak kasus di negara berkembang dimana kelembagaan pedesaan
dibentuk dengan satu pertanyaan yang salah. ‘Yaitu bagaimana koperasi dapat
membantu saudara?’ Menurutnya yang benar seharusnya adalah ‘Bagaimana rakyat
(petani) dapat menolong dirinya sendiri dengan mengorganisir swadaya melalui
cara-cara Koperasi?
Ada point penting dari maraknya
institusi pedesaan baru ini, yaitu mereka berusaha untuk mampu masuk ke
pasar (market penetration). Mereka berusaha untuk meningkatkan efisiensinya
dengan menurunnya biaya karena usaha yang menjadi lebih besar (economies
of scale). Namun toh ternyata usaha-usaha ini juga kurang mampu meredam
sengitnya persaingan dan meningkatkan pendapatan petani. Sehingga sering
kali harga jungkir balik seperti gambaran diatas. Mungkin perlu mencermati
kasus mengapa pemerintah Jepang berani mengenakan tariff yang begitu tinggi
terhadap impor beras ke Jepang, ini tidak luput dari desakan masyarakat
petani Jepang yang dikomandani kelembagaan Koperasi Pedesaan disana.
Alternatif Solusi Pemberdayaan
Koperasi Pedesaan
Berangkat dari point diatas
maka pertanyaannya adalah bagaimana memperbesar peran institusi pedesaan
di masyarakat petani? Bagaimana pendekatan alternatif yang memungkinkan?
Jika kembali ke kasus diatas, maka hendaknya petani haruslah sadar bahwa
reposisi atas kelembagaan pedesaan jauh lebih penting dan menjadi sebuah
keharusan. Tidak dapat hanya bertahan dalam perang melawan gempuran
arus global dengan aksi individu. Mencermati pertanyaan tersebut maka menurut
penulis minimal ada 3 hal yang perlu mendapat pembenahan, yaitu sebagai
berikut:
Pertama, mengenalkan
pendekatan sistemik dalam institusi pedesaan yang dalam hal ini Koperasi
Pedesaan (KUD). Selama ini logika teori ekonomi yang digunakan adalah konsep
insentif dalam pengambilan kebijakan. Dalam konsep intensif ini ada
insentif positif (reward) dan insentif negatif (disincentive/penalty).
Disini peran manusia sebagai pelaku kegiatan ekonomi sangat dominan. Konsekuensinya
adalah adanya impact dan incident dari apa yang dilakukannya. Sayangnya
kebijakan ekonomi yang bertumpu dalam konsep ini sering menimbulkan kegagalan
karena sering kali menciptakan kebijakan kosmetik semata atau praktek-praktek
rent seeking. Dan hal ini juga tidak jauh dari kenyataan kebijakan pembangunan
pertanian terutama dalam sektor kelembagaan pedesaan, dimana masih saja
bertumpu pada konsep insentif secara kurang tepat. Mekanisme pasar yang
dianut oleh perekonomian kita tidak menafikkan berlakunya sistem harga
sebagai refleksi dari insentif material yang berlaku. Disini harga berfungsi
sebagai signal yang mecerminkan insentif atau disinsentif untuk melakukan
sesuatu. Dengan begitu reaksi pelaku ekonomi terhadap harga adalah sangat
sensitif. Ada biaya (cost) dan ada keuntungan (benefit). Harmoni yang dikembangkan
dalam pendekatan sistemik ini adalah peran pelaku ekonomi dalam mewujudkan
ekonomi yang getting the price right and consistent with the overall sustainability
objectives. Untuk itu dalam pendekatan sistemik ini maka merealisasi
4 preposisinya menjadi keharusan yaitu: get the price right, get
the regulation right, get the institution right dan get the law and its
enforcement right. Dengan keempat unsur dalam pendekatan sistemik diatas
akan terwujud suatu keserasian penggunaan sumber daya ekonomi masyarakat
dan mekanisme ekonomi yang berlaku.
Kedua, posisikan
peran pemerintah sebagai pendamping petani melalui insititusi Koperasi
Pedesaan. Sebuah institusi pedesaan seperti Koperasi sangat sensitif terhadap
perubahan. Manejemen organisasi yang lemah mengharuskan penanganan yang
cukup serius. Disini peran pemerintah haruslah jelas dan tepat. Perintah
harus memposisikan diri sebagai side guider (pendamping) ketimbang melakukan
intervensi melalui kebijakan yang top-down. Hindari kebijakan-kebijakan
yang bertendensi pemaksaan. Peran pemerintah dalam hal ini, haruslah open
choices (pilihan terbuka) bagi koperasi pedesaan.
Ketiga, bangun struktur
dan sistem networking pada Koperasi Pedesaan. Selama ini dimaknai bahwa
proses networking adalah proses kemitraan yang hanya sekedar dilakukan
dengan sistem bapak-angkat dimana yang besar memberi yang kecil. Padahal
networking adalah berusaha membuat bangunan kerjasama kelembagaan yang
saling memberi manfaat dikedua belah pihak. Networking ini tidak saja antara
kelembagaan yang pedesaan semata tapi juga pada kelembagaan yang terkait
baik secara horizontal maupun vertikal.
Akhirnya, jika pada awal
tahun 1980-an, pemerintah telah all out mengembangkan sektor industri dan
perbankan yang mampu memobilisasi dana cukup signifikan untuk pembangunan
nasional. Maka kini saatnya semangat serupa seharusnya juga dilakukan untuk
sektor pertanian minimal melalui institusi pedesaan semisal Koperasi. Hanya
melalui transparansi reformasi kebijakan pemerintah yang melibatkan partisipasi
masyarakat maka implementasi kebijakan tersebut akan dapat diterima semua
pihak, termasuk si lemah petani dan koperasinya. Semoga.
Marburg,
9 Juli 2001
=============
Artikel telah dimuat harian
Radar Jember- Jawa Pos, Jumat 12 Juli 2002
Penulis adalah staf pengajar
Fakultas Ekonomi - Universitas Jember
dan sedang studi Ekonomi
Koperasi pada Philipps University, Marburg-Germany
|